Pages

Subscribe:

Kamis, 27 Oktober 2011

Etos Sisingamangaraja dan Etos Batak: Sebuah Rekonstruksi Oleh Jansen H. Sinamo

(Disampaikan pada Seminar Nasional Memperingati 100 Tahun Gugurnya Sisingamangaraja XII Medan, 2 Juni 2007)

Stempel kerajaan Sisingamangaraja XII

PENDAHULUAN

Kalau kita benar-benar serius memperingati 100 tahun gugurnya Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII minggu ini maka pertanyaan-pertanyaan di bawah ini perlu kita jawab dengan baik agar peringatan istimewa ini dapat memberikan makna penuh:

1. Bagaimana kita bisa mendapatkan gambaran yang utuh, faktual, dan akurat tentang Sisingamangaraja XII sehingga sang pahlawan sungguh-sungguh dapat tampil sebagai tokoh sejarah riil yang daripadanya orang Batak dan warga negeri ini bisa belajar. Dalam kehidupan dan perjuangan Sisingamangaraja XII sejumlah mitos berkelindan dengan fakta, namun mitos-mitos itu sering justru lebih menarik. Misalnya, kisah kekebalannya yang lenyap jika tersentuh oleh darah. Sebagian orang percaya, sebagian tidak. Namun debat kusir tentang hal ini sering menyita habis energi para pedebat sehingga tidak mampu memetik inspirasi, motivasi, dan kearifan dari kisah itu.
2. Apa persisnya warisan Sisingamangaraja XII bagi orang Batak, dan bagaimana warisan itu bisa diolah menjadi daya vital baru bagi orang Batak sekarang, termasuk bagaimana mewariskannya kepada generasi muda Batak sehingga dapat memberikan sebuah kebanggaan sejarah yang sehat.
3. Bagaimana hasisingamangarajaon—yakni semua hal tentang Sisingamangaraja: hidupnya, kepercayaannya, kerohaniannya, kerajaannya; termasuk patik, uhum, dan adat yang dijunjungnya, serta tona yang ditinggalkannya kepada para pengikutnya di wilayah pengaruhnya—yang dalam kurun waktu tertentu pernah menjadi narasi populer dalam masyarakat Batak, mempengaruhi praktik habatahon kita dari masa ke masa hingga saat ini? Secara khusus, bagaimana sebaiknya orang Batak menempatkan hasisingamagarajaon dalam pergulatan hidup orang Batak dewasa ini di bidang budaya dan politik.
4. Bagaimana caranya agar istana, regalia, dan benda-benda pusaka Sisingamangaraja jangan sampai lapuk atau hilang ditelan zaman; bagaimana merawat peninggalan fisik itu, termasuk berbagai dokumen, yang tersebar di berbagai tempat: Belanda, Jerman, Amerika, Jakarta, Bakara, Balige, dan Sionomhudon; agar bisa dimanfaatkan menjadi bahan studi, serta dikelola sebagai situs budaya, wisata, dan spiritual yang baik.
5. Bagaimana kita dapat mengekstraksi (mangenet) suatu Etos Batak melalui studi tentang nilai-nilai yang diwarisi dan dihayati Sisingamangaraja yang termuat dalam sistem haporseaon dohot partondion, patik dohotuhum, serta tona maupun adat yang ditegakkan dan diwariskannya di sepanjang karir harajaon dan kepahlawanannya yang krusial bagi pergumulan orang Batak dalam derap globalisasi sekarang. Pertanyaan terakhir ini merupakan topik bahasan saya dalam seminar ini, yang meskipun masih taraf permulaan, kiranya dapat menjadi titik berangkat yang menyemangati kita semua.

Sisingamangaraja XII dalam lukisan



ETOS: PERKARA YANG VITAL

Karena pada tahun-tahun belakangan ini publik mengenal saya sebagai guru etos maka keluarga besar Sinambela di Jakarta, melalui Ketua Umum Toga Raja Sinambela, meminta saya dalam seminar ini membicarakan Etos Sisingamangaraja secara khusus, dan Etos Batak secara umum. Dan dengan gembira permintaan itu saya penuhi karena dua alasan.



Pertama, saya telah sampai pada kesimpulan bahwa suatu bangsa tanpa etos yang unggul tidak akan mungkin sintas dan sukses di abad ke-21 ini. Bangsa yang beretos buruk akan selalu kalah dalam lomba disiplin kerja, produktivitas kerja, kualitas kerja, kreativitas kerja, dan inovasi kerja. Bangsa demikian–meminjam ungkapan Bung Karno–hanya akan menjadi “satu bangsa kuli, dan kuli di antara bangsa-bangsa–een natie van koelies, en een koelie onder de naties”. [Ungkapan aslinya berasal dari Prof. Dr. van Gelderen, pejabat Kantor Pusat Statistik Hindia-Belanda, dalam Statistich Jaaroverzicht 1928: ... para pemilik modal telah menjadikan rakyat jajahan sebagai bangsa loontrekkers (pencari upah belaka) dan een loontrekker onder de naties (pencari upah di antara bangsa-bangsa)]



Etos yang berarti “the distinguishing character, beliefs or moral nature of a person, group, or institution” adalah faktor pembeda utama sifat dan perilaku yang khas antarorang, antarorganisasi, atau antarkaum. Maka etos Batak berarti seperangkat karakter khas orang Batak yang membedakannya dengan kaum lain. Yang kita kehendaki tentu bukan sekedar berbeda, sekedar lain, tetapi keberbedaan yang membuat orang Batak mampu lebih tangguh dan berhasil dalam hidupnya. Hal terakhir inilah yang menjadi inti bahasan saya pada pasal berikutnya.



Di ranah korporat etos difahami sebagai “the code of conduct of a business and the way in which it treats its staff, customers, environment and legal responsibilities.” Etos disini ekivalen dengan budaya perusahaan (corporate culture). Semua studi manajemen mutakhir menegaskan hal itu: sukses korporat memang ditentukan oleh faktor-faktor keunggulan perilaku dan budaya kerja.

Stephen R. Covey



Menurut pengamatan saya sendiri dalam 25 tahun terakhir ini semua buku manajemen yang berstatus mega-bestseller (oplag di atas 5 juta) yang menjadi buku panduan korporat i seluruh dunia boleh dikata berbicara di seputar etos seturut definisi di atas. Yang terutama di antaranya: In Search of Excellence: Lessons from Americas Best Run Companies (Robert H. Waterman and Thomas J Peters, Warner Books; 1983), Thriving On Chaos: Handbook for a Management Revolution (Tom Peters, Harper Paperbacks; Reprint edition, 1988), The Seven Habits of Highly Effective People (Stepehen R. Covey, Free Press; 1st edition, 1990), The Balanced Scorecard: Translating Strategy into Action (Robert Kaplan and David Norton, Harvard Business School Press, 1996), Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies (James C. Collins and Jerry I. Porras, HarperCollins Publishers; 1st edition, 1997), Competing in the Third Wave: The Ten Key Management Issues of the Information Age (Jeremy Hope and Tony Hope, Harvard Business School Press, 1997), Good to Great: Why Some Companies Make the Leap and Others Don't (Jemes C. Collins, HarperCollins Publishers, 2001).

Max Weber

Di tingkat masyarakat, studi sosiologi menunjukkan bahwa etos adalah kunci utama bagi kemajuan suatu kaum. Max Weber (1864–1920) untuk pertama kalinya menunjukkan hal ini dengan cemerlang. Weber menemukan adanya afinitas bahkan sinergi dinamis antara etik Protestan dengan etos kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa saat itu (abad ke-16) yang termuat dalam karya monumentalnya: The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. [Translated by Talcott Parsons. With a Foreword by R. H. Tawney. New York: Charles Scribner’s Son, 1958.]

Kepada Max Weber lah saya berutang budi, karena dari gagasannya tentang etos kerja itulah saya mendapat inspirasi dan motivasi menulis buku 8 Etos Kerja Profesional.



Ignas Kleden



Ignas Kleden, dalam makalahnya Kapitalisme, Spiritualitas Keagamaan, dan Etos Ekonomi: Mengenang 100 Tahun The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Jakarta, 2005, mengomentari tesis Weber tersebut sebagai berikut:

Max Weber menunjukkan kepada kita bahwa antara etik Protestan dan etos ekonomi yang dalam istilahnya dinamakan spirit kapitalisme, terdapat suatu hubungan (yang mungkin selalu terbuka untuk dirumuskan bagaimana wujudnya dalam sejarah), yang menjelma menjadi kombinasi yang sangat dinamis yang menggerakkan pertumbuhan kapitalisme modern, yang mendapat bentuknya dalam kapitalisme industrial. Semua kapitalisme lain sebelum itu (misalnya yang dihasilkan oleh pengerukan kekayaan tanah jajahan melalui kolonialisme, atau kapitalisme merkantilis yang dihasilkan oleh perdagangan), tidak memiliki etos ini, karena semua bentuk kapitalisme itu belum menjadikan pemupukan modal sebagai suatu perbuatan yang dibenarkan oleh agama, dan juga belum menjadikan pemupukan modal menjadi tujuan yang harus mendapat pengabdian seutuhnya dari manusia. Ucapan sacra auri fames (kegairahan yang suci akan emas) menunjukkan etos ini, karena kekayaan bukanlah sesuatu yang aib secara moral, tetapi malahan menjadi jalan orang mencapai kesempurnaan moralnya.

Martin Luther



Penting diingat, ketika founding fathers Protestantisme itu, terutama Luther dan Calvin, melancarkan reformasi keagamaan di Eropa di awal abad ke-16, tidak sedikit pun terbetik dalam pikiran mereka untuk membangun suatu sistem ekonomi (kapitalisme) seperti yang ditemukan Max Weber empat abad kemudian, atau yang kita mengerti sekarang, lima abad kemudian. Pada waktu itu, mereka cuma ingin berkenan kepada Tuhan secara murni, melepaskan diri dari suasana keagamaan yang sesak dan koruptif.



Namun, gerakan reformasi itu ternyata menghasilkan unintended consequences yang positif: mereka berkenan kepada pasar, berkenan kepada dunia, bahkan mengubah dunia melalui terbentuknya etos kerja Protestan yang pada gilirannya membuahkan sukses ekonomi (kapitalisme) yang dahsyat.



Dalam ungkapannya yang populer etos kerja Protestan itu adalah sebagai berikut: (1) Bertindak rasional (2) Berdisiplin tinggi (3) Bekerja keras (4) Berorientasi pada sukses material (5) Tidak mengumbar kesenangan (6) Hemat dan hidup bersahaja (7) Menabung dan terus menerus berinvestasi.



Belakangan disadari, ternyata bukan hanya Protestantisme yang sanggup menjadi basis nilai dan sumber semangat bagi pembangunan etos ekonomi yang berhasil. Kata Ignas dalam makalah yang sama:



Dilihat dari masa kita sekarang maka etik Protestan dan spirit kapitalisme itu, yang dalam esai Max Weber dilihat sebagai suatu persambungan, mungkin harus diperlakukan secara terpisah. Ini artinya etik Protestan hanyalah salah satu contoh, yang oleh Max Weber dibuat sangat meyakinkan, tentang hubungan di antara teologi suatu agama di Eropa dan Amerika Utara dengan kelahiran etos ekonomi. Pelajaran yang dapat diambil dari studi itu ialah bagaimana etos ekonomi dapat didorong dan dibangunn dalam setiap kebudayaan dengan memanfaatkan sumber daya dan nilai-nilai budaya yang ada dalam setiap masyarakat dan setiap kebudayaan. Munculnya dan berkembangnya kapitalisme di berbagai negara di Asia Timur dan Asia Tenggara menunjukkan bahwa tanpa adanya pengaruh etik Protestan di negara-negara tersebut, dapat muncul suatu spirit kapitalisme yang tidak kalah dinamisnya dari ada di Eropa atau Amerika Utara. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura menjadi contoh soal yang meyakinkan bahwa tanpa persentuhan langsung dengan etik Protestan selalu ada kemungkinan untuk lahirnya spirit kapitalisme sebagaimana dibayangkan Max Weber.



Catatan: (=1=) Karena melihat kemungkinan seperti dikatakan Ignas di atas lah saya tertarik mempelajari etos berbagai etnik di Indonesia seperti etos Jawa, etos Bugis, etos Tionghoa, dan tentu saja etos Batak; (=2=) Sukses ekonomi yang berbasis nilai-nilai budaya Jepang merupakan tesis Robert Bellah dalam Tokugawa Religion: The Cultural Roots of Modern Japan (Free Press; 2nd edition, 1985). Sedangkan yang berbasis budaya Cina dan Korea misalnya masing-masing dibahas oleh Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity (Free Press; First Free Press Paperback Edition, 1996) h. 83-95; dan Samuel P. Huntington (editor) dalam Culture Matters: How Values Shape Human Progress (Basic Books; New Ed edition, 2001). Introduction. h. 14-18; (=3=) Yang juga menarik dibahas justru sebaliknya: mengapa kelompok-kelompok masyarakat Protestan di Indonesia, terutama yang secara teologis menginduk kepada gereja Lutheran tempat berbagai gereja Batak berhimpun, ternyata tidak menunjukkan jejak signifikan etos Protestan yang tersohor itu?



Lalu kata Ignas menutup makalahnya:



Kita di Indonesia harus menjawab tantangan ini: apakah nilai-nilai yang mempengaruhi perilaku ekonomi kita saat ini dapat diharapkan menghidupkan spirit kapitalisme di masa depan. Atau barangkali keadaannya masih kurang beruntung karena kita sedang berhadapan dengan pilihan yang buruk antara mempersempit kemungkinan bahwa etos itu akan berkembang di masa depan, atau semakin memperbesar kemungkinan bahwa etos itu sedang mati perlahan-lahan.



Tantangan Ignas ini, tujuh tahun sebelumnya telah lebih dulu memasuki benak saya. Saat itu (1998) Indonesia sedang dilanda krisis besar bagaikan terra incognita yang terlanda gempa tektonik. Tiba-tiba saya sadar: perekonomian Indonesia ternyata tidak punya pondasi yang kuat. Akibatnya, semua strategi ekonomi tiba-tiba terasa lumpuh, kiat-kiat manajemen serasa mati, dan semua ketrampilan bisnis tampak sia-sia belaka.



Dan dalam pergulatan itu, saya teringat pada tesis Max Weber—sang penemu etos Protestan itu—yang saya baca pertama kali pada awal 1980-an. Dengan jernih saya melihat: etos bisnis lebih fundamental daripada keterampilan bisnis!



Dikatakan lain: etos itu primer sedangkan ketrampilan itu sekunder. Maka, saya pun mulai mencari-cari rumusan etos kerja yang kiranya cocok bagi Indonesia. Pengalaman saya bekerja sebagai instruktur pada Dale Carnegie Training selama sepuluh tahun segera memberi pengaruh, dalam arti, rumusan etos itu haruslah setangkup dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Lahirlah buku etos kerja versi pertama pada 1998. Sesudah saya perkaya dengan narasi dan ilustrasi yang lebih berdaging maka lahirlah buku etos versi kedua pada 2000.



Sebagai orang yang agak terdidik dalam fisika, saya menghendaki pula agar rumusan etos kerja itu memenuhi syarat komprehensi, koherensi, dan simetri, karena demikianlah dalam fisika: rumusan matematis semua fenomena alam selalu memenuhi ketiga sayarat itu. Akhirnya, pada tahun 2005 lahirlah buku etos edisi ke-3 dengan rumusan 8 Etos Kerja Profesional sebagai berikut:

1. Kerja adalah Rahmat: Aku bekerja ikhlas penuh kebersyukuran
2. Kerja adalah Amanah: Aku bekerja benar penuh tanggungjawab
3. Kerja adalah Panggilan: Aku bekerja tuntas penuh integritas
4. Kerja adalah Aktualisasi: Aku bekerja keras penuh semangat
5. Kerja adalah Ibadah: Aku bekerja serius penuh kecintaan
6. Kerja adalah Seni: Aku bekerja cerdas penuh kreativitas
7. Kerja adalah Kehormatan: Aku bekerja tekun penuh keunggulan
8. Kerja adalah Pelayanan: Aku bekerja paripurna penuh kerendahanhati



MENEMUKAN ETOS BATAK

Kedua, seperti saya katakan sebelumnya, sejak sekitar 1998 saya mulai serius mencari-cari etos Batak. Saya membaca puluhan buku berbahasa Batak (Toba), baik pustaha, torsa-torsa, turi-turian, atau kumpulan umpasa. Namun saya bingung karena ratusan ungkapan nilai-nilai yang termuat dalam ratusan umpasa dan kisah-kisah yang memuat pengajaran, prinsip, atau pedoman hidup itu terlalu banyak, terlalu beragam, campur aduk, bahkan ada yang bertentangan. Akhirnya saya merasa lelah sendiri.



Tetapi rahmat menuntun saya menemukan Etos Batak melalui perjumpaan dengan Dr. Parakitri T. Simbolon pada tahun 2004. Sejak itu kami sering berdiskusi tentang berbagai hal, dan sejak 2006 semakin intensif dan mengerucut ke soal habatahon dan Sisingamangaraja. Saat itu kami sama sekali tidak sadar bahwa Juni 2007 adalah peringatan 100 tahun gugurnya Sisingamangaraja XII.



Nama Parakitri Simbolon menasional sejak 1976 ketika kolomnya yang terkenal, Cucu Wisnusarman, dengan teratur terbit di harian Kompas. Kolom ini sangat digemari karena ciri khasnya: cerdas, usil, dan kocak. Kumpulan kolom itu telah diterbitkan menjadi buku, terakhir oleh Penerbit Nalar, Jakarta, 2005. Sesudah meraih gelar PhD dari Vrije Universiteit te Amsterdam, Belanda (1991) Parakitri kembali menyentakkan publik dengan magnum opusnya Menjadi Indonesia (Jakarta: Penerbit Kompas, 1995) setebal 883 halaman.



Apa itu Etos Batak. Parakitri langsung memberikannya. Disebutnya Catur Sila atau Patik Naopat: parhatian sibola timbang, parninggala sibola tali; pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi.



Pendek, satu bait saja; puitis, indah bunyinya, dan bagus iramanya; bertenaga secara maknawi dan berenergi secara rohani. Sekaligus, inilah contoh ungkapan nilai yang komprehensif, koheren, dan simetris. Maka, hati saya langsung tergetar.



Menggunakan istilah fisika-matetematik: keempat rumusan nilai ini adalah sistem koordinat rampatan (generalized coordinates system) yang berarti: apabila kita berhasil merumuskan koordinat rampatan suatu sistem maka segala hal dalam sistem itu dapat dijelaskan sebagai fungsi dari satu atau lebih sumbu koordinatnya. Jadi, boleh saya bilang: Catur Sila adalah sila rampatan Batak. Artinya, ratusan nilai-nilai habatahon yang kita kenal sejauh ini dapat diungkapkan sebagai fungsi dari satu sila atau lebih Catur Sila di atas. Atau jika dikatakan secara berbeda: Patik Naopat on ma na boi gabe sabungan ni saluhut nilai-nilai luhur habatahon.





Berikut keterangan singkat Parakitri tentang makna Catur Sila itu. Parhatian si bola timbang (pemilik neraca yang seimbang) berarti adil seadil-adilnya. Parninggala si bola tali (pemilik bajak yang belah tali) berarti, seperti rumusan pujangga besar Pramoedya Ananta Toer: lurus sejak dari dalam. Pamuro so marumbalang (penjaga padi tanpa bandring) berarti: rugi mengusir burung pemakan padi dengan batu yang dilemparkan pake bandring, karena padi yang runtuh akan jauh lebih banyak daripada yang dimakan oleh burung. Parmahan so marbotahi (penggembala tanpa pecut). Siapa yang pernah jadi gembala kerbau seperti saya tahu hebatnya falsafah ini. Anda boleh menghabiskan separuh batang bambu ramping untuk memecut kerbau, tetapi sia-sia. Lain halnya kalau Anda membawa kerbau ke padang rumput yang hijau, lalu setelah kenyang Anda memandikannya dengan menggosok badannya bersih-bersih. Habis itu, Anda tinggal naik ke punggungnya, dan barisan kerbau akan membawa Anda pulang ke rumah, ke kandang dengan tenang dan damai.



****

Parakitri T. Simbolon

Dari mana Parakitri menemukan rumusan Etos Batak ini? Menurutnya, Patik Naopat ia peroleh dari ayahnya sendiri, seorang Pande Bolon, jabatan tertinggi Parbaringin di suatu bius. Parbaringin adalah lembaga pelaksana kebijakan-kebijakan Singamangaraja di suatu bius, yakni suatu wilayah persekutuan kurban yang bersifat teritorial. Bius tempat kelahiran Parakitri adalah Rianiate, tujuh kilometer ke arah selatan Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir, di tengah Danau Toba.



Sebagai Pande Bolon, logis dan wajarlah ayah Parakitri mewarisi Catur Sila ini dari Sisingamangaraja. Hal itu dibenarkan Parakitri, “Setelah saya mendengar atau membaca berbagai versi ‘Tonggo-tonggo ni Parbaringin tu Sisingamangaraja” saya menduga ayah saya menyarikan Catur Sila itu dari sumber tersebut.



Bandingkan dengan versi tonggo-tonggo yang dimuat oleh Prof. Dr. W.B. Sijabat dalam bukunya Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1982), h. 442: Hupio, hutonggo, hupangalu-alui, sahala ni Rajanta Si Singamangaraja, Singamangalompoi, Singasohalompoan […] sisulu hata na pintor, sisulu hata na geduk […] gantang pamonaran, hatian tarajuan, parbatuan sisada ihot, parninggala sibola tali, […], sirungrungi na dapot bubu, siharhari na dapot sambil, sipalua na tarbeang, sitanggali na tartali […].

Catur Sila juga juga muncul dalam deskripsi peran, perilaku, dan kualitas pribadi Sisingamangaraja dalam Pustaha Tumbaga Holing Buku I dan II karya Raja Patik Tampubolon (Jakarta: Penerbit Dian Utama dan Kerabat, 2003), h. 143:

1. Sahala Raja Batak, harajaon Singa Mangaraja; Sisingahon harajaon, di Batak sibirong mata.
2. Singa mangalompoi, singa na sohalompoan; Hatorusan ni Debata, hatorusan ni Sombaon;
3. Tanduk so suharon, mataniari so dompakon; Hatana na so jadi laosan, tonana na so jadi juaon.
4. Pangahitan di sangap, pangahitan di badia; Sihorus na gurgur, siambai na longa.
5. Paradat sijujung ni ninggor, paruhum sitingkos ni ari; Sipalua na tarbeang, sitanggali na tartali.
6. Pangidoan di gabe-gabe, pangidoan di parhorasan; Di tubu ni anak namartua dohot boru namarharatan.
7. Napitu hali malim, napitu hali solam; Sinolamhon ni Ompunta Mulajadi Nabolon.
8. Sirungrungi na dapot bubu, sitanggali na dapot sambil; Dirimbas do na geduk, diningggala sibola tali.
9. Parsolup siopat bale, parmasan sisampuludua; Pargantang tarajuan, parhatian na so ra muba.
10. Pariring-iring na so jadi lupa, partomu-tomu na so jadi ambataon; Parindahan ragia na so jadi mago, parsangsing di onan na so jadi muba.



Mengingat peran dan kedudukan Sisingamangaraja selama duabelas generasi sebagai primus interpares di tengah raja-raja lainnya di tanah Batak, wajarlah memperkirakan Etos Sisingamangaraja telah dikenal dan tersosialisasikan melalui keteladanan pribadinya.



Lebih dari itu, Sisingamangaraja sendiri juga memang aktif memberlakukan hukum dan patik habatahon dalam masyarakatnya. Bagaimana Sisingamangaraja XII memberlakukan hukum-hukumnya sebagai perwujudan Etos Sisingamangaraja di Dairi, misalnya, dicatat oleh Prof. Dr. W.B. Sidjabat pada hal. 234 buku di atas. Bukan hanya di Dairi, di mana saja pengaruh Sisingamangaraja diterima dan diakui, hal yang sama dilakukannya.



***



Dari arah yang berbeda, dalam hal ini menggunakan sejarah sebagai perkakas rekonstruksi, hal yang amat meyakinkan buat saya tentang Etos Batak ini termuat dalam makalah Parakitri berjudul Batak Toba: Tarbahensa Do Ulaning Manotas Dalan Tu Abad XXI?, yang ditulisnya untuk Seminar Adat Batak Toba, 4-5 Oktober 1997, bertempat di Wisma Taman Sari Indah, Jl. Kapten Muslim No.94, Medan. Intinya, sebagai berikut:

1. Etos Batak ialah ”sabungan nilai-nilai luhur orang Batak” yang sehari-hari tampil sebagai adat dan kebiaasan. Namun, di atas adat ada hukum, dan di atas hukum ada kepercayaan yang menjadi falsafah orang Batak. Kepercayaan utama orang Batak ialah: Ditompa Debata jolma mangarajai uhum; ditompa Debata uhum mangarajai adat. Sedangkan hukum utama orang Batak ialah ialah: Angka adat na pinungka dohot sahala ni ompunta sijolo-jolo tubu.
2. Berangkat dari prinsip ”hori narundut bahenon tu tapean, aek na litok tingkoran tu julu” maka bila kita punya masalah di tingkat pelaksanaan adat (rundut, mejemur) dan menguatnya perilaku yang kurang pas dalam masyarakat (biasa disingkat sebagai hotel: hosom, teal, elat, late; kini termasuk korupsi) namun telah membiasa dan terbiasa (di wilayah jae) maka guna memperbaikinya kita harus meninjau ke tingkat kepercayaan dan kerohanian (di wilayah julu). Untuk itulah ilmu sejarah berguna sebagai perkakas pemeriksaan.
3. Untuk menemukan kepercayaan dan kerohanian (haporseaon dohot partondion) yang melahirkan etos, adat, dan kebiasaan orang Batak yang asli itu harus diperiksa asal-usulnya sampai ke pangkalnya yang paling hulu: yaitu asal-mula orang Batak. Sebagian bisa diperoleh dari turi-turian (mitos) si Raja Batak. Namun secara ilmiah, kita masih harus bekerja keras menemukannya apakah menggunakan ilmu sejarah, antropologi, arkeologi, atau disiplin lainnya. Sejauh ini, keterangan sejarah yang ada ternyata masih kurang mampu menjelaskannya, terutama mengenai: (a) siapa sesungguhnya nenek moyang orang Batak pertama; (b) dimana mereka bermukim sebelumnya; (c) bagaimana mereka tiba di sekitar Danau Toba (Sianjur Mula-mula) pada sekitar tahun 1500-an; (d) mengapa mereka meninggalkan tempat asalnya; serta (e) bagaimana kita harus menafsirkan mitos Pusuk Buhit sekarang.
4. Parakitri menggunakan sebuah dokumen sejarah—The Suma Oriental of Tomé Pires: An Accounts of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515—yang sejauh saya ketahui belum pernah digunakan ahli mana pun untuk melacak asal-usul orang Batak. Dari analisis dan tafsiran tentang bahan ini, Parakitri menyimpulkan karakteristik partondion dan sikap mental orang Batak yang bermukim di sekitar Danau Toba di sekitar tahun 1500-an itu, adalah sebagai berikut:
1. Angka halak na barani situntun lomo ni roha manjalahi papaga na lomak do ianggo Halak Batak.
2. Angka jolma na ngilngil do nasida.
3. Ndang sijalo na masa sambing nasida, na malo padomu-domu diri.
4. Angka jolma silului dalan na imbaru do nasida, sitotas nambur, namalo jala nabisuk mangadopi hagogotan.
5. Ndang olo nasida mangunsande tu huaso ni sahalak raja bolon.
6. Dihilala nasida, ingkon adong ma patik namangatur asa tarbahen mangolu songon sada rombongan, sada masyarakat, sada bangso. Lapatanna: ingkon adong do patik na uli na sora mose, songon prinsip moral bersama.
7. On ma natarida tangkas di tonggo-tonggo ni Parbaringin, ima naginoar songon patik. Didok: parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali; pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi. Ima partondion na mangolu di bagasan pambahenan ni sude Singamangaraja. Sahala harajaonna ojak nang pe ndang adong parangan, ndang adong naposona, jala ndang dipapungu balasting.
8. Jadi, ingkon boi ma nian ganup Halak Batak songon hatian na sora teleng, na satimbang. Ingkon boi tigor roha nasida songon ninggala na mamola tali. Ingkon boi dimpos eme sian amporik di juma agia pe ndang marumbalang. Jala ingkon dimpos dorbia di jampalan agia pe ndang marbotahi. Lapatanna, dimpos ngolu ndang ala ni huaso harajaon (umbalang, botahi), alai ala ni patik (sahala) sambing.
9. Jadi, tondi (sahala ima hagogoon ni tondi na tarida) hangoluon ni Halak Batak ima: bonar, tigor, dohot elek. Sian partondion nasongon ima mullop angka sahala, ima hagogoon dohot huaso laho manjalahi parngoluon na dumenggan di ganup-ganup bidang. Patik on, tondi on, mansai tangkas tarida di Dalihan Na Tolu: bonar (manat) maradophon dongan tubu, tigor (somba) maradophon hula-hula, jala elek (berbelas kasih) maradophon gelleng. Ala ndang adong be sahalak na gabe raja, na sangap, na marsahala, torus manorus, ingkon sude nama ris gabe na sangap dohot na marsahala. Asa boi songon i, pambahenan nama andosan ni sangap dohot sahala i, ndang be nasib, ndang be tohonan (gelar, arta, jabatan, pangkat). Asa tarida angka i di hangoluon siapari, tubu ma aturan adat Dalihan Na Tolu, ima na marganti-ganti ganup Halak Batak gabe dongan tubu, hula-hula, manang gelleng, asa marganti-ganti jala ris dapotan sahala. Ido alana umbahen tubu umpasa: sisoli-soli do adat, siadapari do gogo. Jadi, prinsip Dalihan Na Tolu ima ’marganti’, ndang ’lean ahu asa hulean ho’ (quid pro quo) songon na somal taantusi nuaeng on.



Parakitri menguraikan, lama-kelamaan etos atau ”partondion na jeges jala na mangolu” milik orang Batak awal itu meluntur dan memudar karena mereka hidup ratusan tahun dalam haribaan alam Danau Toba dan sekitarnya yang sentosa. Tidak ada lagi perbandingan, tidak ada lagi tantangan. Bahkan kemudian, oleh karena dua peristiwa sejarah yang signifikan, yaitu serangan kaum Padri (1824-1838) dan kekuasaan Belanda menjajah Tanah Batak yang makin kokoh sejak 1834, orang Batak sampai mengalami keterguncangan jiwa (tarmali tondi). Dan dalam kondisi tidak menguntungkan demikianlah Sisingamangarja XII tampil ke pentas sejarah.



Dari buku Prof. Dr. WB Sidjabat kita tahu, Sisingamangaraja XII, figur utama habatahon asli itu, penjaga terakhir warisan spiritual nenek moyang kita, pengemban etos luhur habatahon kita, tampil dengan gagah perkasa, tidak kenal menyerah, bahkan sampai mati di medan juang, di hutan belantara Dairi.



Sisingamangaraja XII kalah karena persenjataannya ketinggalan, bukan karena prinsipnya, tapi justru karena keluhuran prinsipnya itulah. Ia gugur karena zaman baru tidak memihaknya lagi, bukan karena etosnya, tapi justru karena keluhuran etosnya itulah: parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali; pamuro so marumbalang, parmahan so marbotahi. Dan karena itulah kepahlawanan Sisingamangaraja XII menjadi unik dan cemerlang.



PENUTUP

1. Kata kunci Etos Batak itu (bonar, tigor, manat, elek) tampak sangat bagus dan memadai menjadi basis kehidupan pribadi, organisasi, dan sosial yang kuat dan berhasil. Bandingkan sejenak dengan The Four Noble Truths yang diajarkan Siddharta Gautama: Dukkha, Samudaya, Nirodha, Magga. Dukkha: bahwa hidup ini pada dasarnya ialah dukkha (penderitaan). Samudaya: sumber dukkha ialah keinginan menikmati kesenangan-kesenangan sensual (nafsiah). Nirodha: pengakhiran dukkha ialah dengan mengijinkan matinya keinginan tersebut secara alami dengan tidak melayaninya, tidak menginginkannya, bebas daripadanya, dan tidak bersandar padanya. Magga: cara membebaskan diri dari dukkha itu—disebut delapan jalan mulia—ialah: melihat dengan benar, berniat dengan benar, berbicara dengan benar, bertindak dengan benar, hidup dengan benar, berusaha dengan benar, berpikir dengan benar, dan bersamadi dengan benar.
2. Bandingkan pula dengan nilai-nilai utama Kekristenan: iman, pengharapan, dan kasih. Demikian pula dengan ideal Islam: agar setiap Muslim kiranya bisa menjadi insan anugerah bagi segenap alam— ”rahmatan lil alamin”— yang berkarakter mulia—”akhlakul kharimah”—sebagai khalifah Allah di Bumi. Itu berarti kerohanian dan perilaku yang adil, benar, baik, penuh rahmat dan kasih sayang.
3. Tampak bahwa Etos Batak sama sekali tidak inferior, bahkan sejalan dengan ajaran moral agama-agama utama dunia.
4. Tantangannya bagi kita sekarang ialah: (a) Bagaimana mensosialisasikan etos ini kepada seluas-luasnya masyarakat Batak; (b) Bagaimana mengungkapkannya secara Batak pula di bidang sastra, kesenian, adat, serta di bidang profesi lainnya seperti politik, hukum, perniagaan, atau pemerintahan.
5. Secara khusus, bagaimana menyinergikan Etos Batak ini dengan nilai-nilai Haislamon dohot Hakristenon sehingga ke depan Batak Islam dan Batak Kristen semakin mampu menimba vitalitas dari sumur rohani masing-masing namun semakin kompak pula sesamanya karena minum dari sumur Habatahon yang melahirkan mereka.
6. Dalam rangka inilah–di samping untuk menjawab lima pertanyaan pada awal tulisan ini–gagasan mendirikan Pusat Studi Sisingamangaraja menjadi penting. Pusat studi ini hendaknya menjadi milik publik, didanai oleh publik, terutama masyarakat Batak, dikelola oleh manajer yang ahli, berintegritas tinggi, dan bersemangat besar. Buat saya, sukses tidaknya perayaaan seratus tahun pahlawan kita ini, antara lain, ditandai dengan berdirinya pusat studi ini dalam waktu yang tidak terlalu lama.



Jakarta, 25 Mei 2007

Diperbarui, 28 Oktober 2010





BIODATA JANSEN H. SINAMO



Pria kelahiran Sidikalang, 2 Juli 1958, ini adalah putra sulung dari delapan bersaudara, dan ayah dari dua anak. Kini, Jansen Sinamo boleh jadi lebih dikenal sebagai 'Mr Ethos’ atau ‘Bapak Etos’, daripada sebagai grand master training pemegang lisensi pelatihan internasional. Bahkan, tidak sedikit yang menyebutnya ‘Guru Etos Indonesia’. Layakkah gelar besar ini disandangnya? Entahlah, sejarahlah yang akan menjawabnya. Yang jelas, dialah penggagas, pencipta, pengembang, sekaligus pengemban seminar dan pelatihan sumberdaya manusia berbasis etos yang pertama di Indonesia. Pada 1998 ia mendirikan Institut Darma Mahardika, lembaga pengembangan sumberdaya manusia dan organisasi berdasarkan 8 etos kerja profesional.



Berpendidikan fisika, dengan kekhususan fisika nuklir, ia lulus dari Institut Teknologi Bandung pada 1983. Sesudah bekerja sebagai seismic engineer selama empat tahun (1983-1986) di dua perusahaan asing bidang jasa perminyakan (Seiscom Delta dan Horizon International), setahun berikutnya (1987) ia dikontrak untuk meletakkan dasar-dasar sistem informasi manajemen pada World Vision International, sebuah LSM yang berpusat di Amerika Serikat.

Hobinya adalah membaca, mengajar, dan berceramah. Selama masa seniornya di ITB ia menjadi asisiten dosen di sejumlah matakuliah antara lain fisika dasar, fisika lanjut, dan fisika kuantum. Dengan modal sebagai asisten kuliah Etika Kristen selama tiga tahun, pada lima tahun berikutnya (1984-1989) ia dipercaya menjadi sebagai dosen luar biasa dalam mata kuliah tersebut pada Institut Teknologi Bandung.



Sesudah magang selama tiga tahun (1985-1987), pada sepuluh tahun berikutnya (1988-1987) ia menjadi instruktur pada lembaga pelatihan bisnis Dale Carnegie Training, dan sempat mengantongi lisensi internasional untuk delapan mata pelatihan. Selama empat tahun terakhir di sana (1994-1997), ia juga menjadi grand master (pelatih untuk para pelatih) Dale Carnegie untuk wilayah Asean. Dengan pengalaman Dale Carnegie inilah ia diundang jadi pengajar khusus dalam matapelatihan Negotiation and Business Presentation pada Program Magister Manajemen Institut Pertanian Bogor sebanyak sebelas angkatan (1992-1996).



Dalam kurun 1998-2001 ia dipercaya menjadi Sekretaris Umum Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba dan menjadi Ketua pada tiga tahun berikutnya. Di masa kepemimpinannya, bekerjasama dengan UNESCO, ia mengelola buletin Pesan Danau Toba yang sempat terbit sebanyak 48 edisi. Ia juga aktif dalam ikhtiar memajukan daerah asalnya, Kabupaten Dairi dan Pakpak Bharat, Sumatera Utara.



Sejak 1998 Jansen Sinamo memulai debutnya sebagai penulis. Ia menulis banyak artikel di berbagai media, terbanyak di harian Kompas. Ia juga telah menghasilkan 9 buku yaitu (1) Kepemimpinan Visioner, Kepemimpinan Kredibel (2) Strategi Adaptif Abad Ke-21 (3) Dairi: The Hidden Prosperity (4) Dampak Operasi PT IUU terhadap Lingkungan Danau Toba (5) Delapan Etos Kerja Profesional (6) Mengubah Pasir Menjadi Mutiara dan (7) Berselancar di Atas Gelombang Perubahan (8) Kafe Etos, dan (9) Etos Keguruan



Sejak 1988 itu, ratusan ribu orang dari hampir semua jenis organisasi, badan usaha, dan industri telah menikmati seminar dan pelatihannya. Sejak sepuluh tahun terakhir ia memfokuskan dirinya mendalami dan mangampanyekan 8 Etos sebagai basis dan navigator menuju keberhasilan.



Kini, selain bergiat di Institut Darma Mahardika, Jansen Sinamo terus menulis serta menjadi pembicara publik dan narasumber tetap pada jaringan Radio SmartFM, Jakarta, dan sesekali di stasiun TV.



Ia sekeluarga tinggal di daerah Jakarta Timur. Informasi lain tentang Jansen Sinamo bisa dilihat di situsnya: www.8etos.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar